“Pada zaman dimana semua komunitas masyarakat adat tergabung dalam institusi negara, maka tidak dapat dielakkan bahwa mereka harus menegosiasikan bahkan memperjuangkan hak atas wilayah hidup mereka diantara berbagai kategori hak yang dibuat oleh negara.”
Dipublikasikan dalam Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Juli 2009
I. Pengantar
Eddie Riyadi Terre[1] menyebutkan ada tiga persoalan mendasar yang dialami oleh masyarakat adat (indigenous peoples): Pertama, masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah dan wilayah dimana mereka hidup dan dari mana mereka mendapatkan penghidupan; Kedua, masalah self-determination yang sering menjadi berbias politik dan sekarang masih menjadi perdebatan sengit; dan Ketiga, masalah identification, yaitu siapakah yang dimaksud dengan masyarakat adat, apa saja kriterianya, apa bedanya dengan masyarakat bukan adat/asli/pribumi (non-indigenous peoples ).
Tulisan ini mencoba membahas persoalan pertama yaitu soal hubungan masyarakat adat dengan wilayah dimana mereka hidup dan mendapatkan penghidupan. Dalam beberapa literatur di Indonesia, hubungan tersebut disebut hak ulayat.[2] Hak ulayat dalam tulisan ini dilihat dari dua sudut pandang. Pertama pendekatan hak asasi manusia yang melihat hak ulayat sebagai hak asasi masyarakat adat atas wilayah kehidupan mereka. Kedua pendekatan konstitusionalisme yang melihat hak ulayat sebagai hak konstitusional masyarakat adat dalam setiap rumusan undang-undang dasar yang pernah berlaku di Indonesia.
Download: Hak Ulayat – Pendekatan Hak Asasi Manusia dan Konstitusionalisme Indonesia
[1] Eddie Riyadi Terre, Masyarakat Adat, Eksistensi dan Problemnya: Sebuah Diskursus Hak Asasi Manusia, dalam Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Alam, (Jakarta: ELSAM dan AMAN, 2006), hlm 8
[2] Ulayat berasal dari bahasa arab Wilayatun, artinya suatu areal yang berada di bawah kekuasaan sekelompok orang. Van Vallenhoven yang disebut-sebut sebagai bapak hukum adat menggunakan istilah beschikkingsrecht untuk menyebutkan hak ulayat. Demikian juga dengan muridnya yang kemudian menjadi pengajar hukum di Indonesia, B. Ter Haar. Oleh Soepomo, yang merupakan murid Ter Haar, hak masyarakat adat atas wilayah hidupnya disebut dengan istilah “hak pertuanan”. Lihat Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur, 1982), hlm. 13-14. Sedangkan Hazairin menyebutnya hak bersama.
TERIMAKASIH ATAS INFORMASI DAN TULISANNYA, CUKUP BERMANFAAT BUAT BACAAN/REFRENSI UNTUK REGENERASI. KUNJUNGI JUGA SEMUA TENTANG PAKPAK DAN UPDATE BERITA-BERITA DARI KABUPATEN PAKPAK BHARAT DI GETA_PAKPAK.COM http://boeangsaoet.wordpress.com
makasie ya infonya..maav cman copy buat tugas.
thanks
Gb^